Belanda Belum Bisa Menguasai Daerah Gayo-Alas
Apakah dengan menyerahnya pemimpin tersebut gemerincing senjata dan ledakan mesiu sudah terhenti? Peristiwa dalam waktu berikut ini akan dapat menjelaskannya. Setelah Sultan berdamai, maka dalam tahun 1903-1915 ada masa disintegrasi sosial yang ditandai oleh makin banyaknya uleebalang yang berdamai di samping masih adanya di antara mereka ini yang terus mengangkat senjata melawan Belanda.
Ada di antara mereka yang setelah menandatangani "Korte Verklaring" atau "Perjanjian Pendek" dengan Belanda yang mengaku setia masih juga membantu para pejuang Aceh. Pemimpin-pemimpin agama ada yang berdiam diri saja, ada yang mengikuti raja-raja atau uleebalang, bekerja dalam struktur birokrasi Belanda, dan ada juga yang terus mempergunakan senjata melawan Belanda. Rakyat pun terpecah-pecah pula.
Ada di antara mereka yang setelah menandatangani "Korte Verklaring" atau "Perjanjian Pendek" dengan Belanda yang mengaku setia masih juga membantu para pejuang Aceh. Pemimpin-pemimpin agama ada yang berdiam diri saja, ada yang mengikuti raja-raja atau uleebalang, bekerja dalam struktur birokrasi Belanda, dan ada juga yang terus mempergunakan senjata melawan Belanda. Rakyat pun terpecah-pecah pula.
Ada yang turun dari hutan-hutan kembali ke kampung halaman bercocok tanam, ada yang terus mengikuti pemimpin-pemimpin mereka mengadakan perlawanan senjata terhadap Belanda. Selain kembalinya Panglima Polem ke posisinya semula sebagai Panglima Sagi XXII Mukim dengan mendapatkan pengakuan Belanda pada bulan Januari 1904, salah seorang rekan seperjuangan beliau, Teuku Ben Peukan yang merupakan tokoh terkemuka dalam pertandingan di lembah Pidie, dengan segenap pengikutnya berdamai pula ke Belanda pada tanggal 1 Februari 1904 dengan membawa 450 pucuk senjata api. Belanda melihat bahwa daerah Gayo-Alas belum lagi dapat dikuasainya.
Karena itu Van Daalen, yang waktu itu sudah menjadi Letnan Kolonel, ditugaskan mengadakan hubungan politik dengan kepala-kepala daerah di sana untuk menancapkan kekuasaan Belanda. Pada tanggal 8 Februari 1904 ia memulai "long march" -nya yang lamanya 163 hari dengan 10 brigade Marsose dari Lho 'Seumawe ke Sibolga (Tapanuli) menembus daerah Gayo, Tanah Alas dan sebagian tanah Batak. Di Gayo Van Daalen mendapat perlawanan keras, tetapi setelah beberapa bulan dapat juga ia mematahkan perlawanan rakyat di daerah itu. Rakyat Gayo, lelaki perempuan, bahkan anak-anak, dari desa Kuto Reh, kental, dan Kuta Lengat Baru dengan gagah perkasa mempertahankan setiap jengkal tanah pusaka mereka dari kekuasaan penjajah.
Sebagai sekedar contoh dapat dilihat betapa besar korban hanya dari beberapa dari sekian banyak pertempuran seperti dinukilkan pada halaman berikut ini. Dengan keputusan Pemerintah Hindia Belanda bulan September 1904, Van Heutz diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan sebagai penggantinya diangkatlah Jenderal Jhr. J.C. van der Wijck sebagai Gubernur.
Setelah yang terakhir ini diangkat menjadi Komandan Angkatan Darat Hindia Belanda mulai bulan Mei 1905, maka ditetapkanlah Letnan Kolonel GCE van Daalen sebagai Gubernur Aceh. Van Daalen melaksanakan pemerintahan dengan kejam sehingga menimbulkan kecaman hebat oleh penulis yang menamakan dirinya Wekker dalam surat kabar Avondpost di Den Haag. Akibatnya ialah bahwa Van Daalen minta berhenti. Ia menganggap dirinya tidak bersalah karena menurut pendapatnya ia hanya menjalankan tugas yang telah digariskan oleh Van Heutsz sebelumnya.
Banyak ulama terkemuka yang syahid, misalnya Tengku Biru Keutapang, Tengku Kadli, Tengku Cot Cicem, pengganti Tengku Leman Tengku Cot Cicem. Sultan, yang pada waktu itu didasarkan pada investasi, dianggap oleh Belanda istirahat setia kepada raja Belanda karena haus kekuasaan. Beberapa uleebalang dan orang beranggapan bahwa Sultan adalah pahlawan mereka, dan karena itu mereka membantu dan mendukung. Menurut Belanda, atas prakarsa Sultan mengadakan konsensus oleh para ulama di Pidie hulu untuk melanjutkan serangan dalam skala besar melawan Belanda.
Dari investasi, Sultan rupanya masih berhubungan dengan pejuang di Aceh. Belanda menuduh bahwa penembakan terjadi dalam investasi pada tahun 1907 dan serangan terhadap Seudu dan tidak diatur oleh Sultan. Belanda kemudian dengan ketentuan pada 24 Desember 1907 untuk membuang Sultan Ambon. Ketika Belanda menggeledah kediaman Sultan Muhammad Daud Syah, ditemukan korespondensi yang berkaitan dengan pencarian bantuan dari Jepang. Sejak 10 Juni 1908, Van Daalen digantikan oleh Letnan Kolonel HNA Swart, mantan Gubernur Militer dan Sipil di Sulawesi.
Swart terus mengejar pejuang di Aceh diperkirakan bahwa jumlah Belanda 5 atau 6 ribu orang lagi, luas, dan siap untuk mati syahid melawan Belanda. Rupanya perang suci melalui perang suci cerita masih berkecamuk di dada. Terutama di bidang dasar dan Keureutoe terlihat aktivitas gerilya, antara lain, dipimpin oleh Tengku di Aceh. Pada awal 1908 ada kecemasan di masyarakat sekitar Aceh Utara begitu banyak orang melarikan diri untuk mengetahui 'Semawe atau meninggalkan tempat dekat dengan tim Belanda bivak untuk pejuang di Aceh di bawah Teungku di Paya Bakong dan Tengku Barat mulai melawan Belanda.
Pergolakan di Pidie yang dihadapi oleh Schmidt dengan marsosenya tim. Dalam September 1909 Teungku di Buke't dan 'martir Maye't (baik laki-laki Teuku Chi' Teuku Chi Muhammad Saman di Tiro). Beberapa kekalahan di Aceh tempur adalah perdamaian Tengku Banta dengan 100 pengikutnya (Juni 1908) dan Teuku Ben berduri Pidie dengan 160 pengikut dan 17 senjata (Juli 1908). Meskipun ada kekalahan yang pejuang Aceh juga terus berjuang sehingga cukup banyak pemimpin musim gugur sebagai Tengku disunat (November 1909), Tengku di Reubèe (Desember 1909), Habib Ahmad (Mei 1910), Tengku Saleh, Tengku Halipah, Tengku Ma 'pada (Maret 1911), dan Tengku Barat (Februari 1912). Selain itu, karena tekanan dari senjata Belanda, perdamaian adalah Teungku di Pidie di Aceh Barat, Keujeurun Pameue (Maret 1911), Habib Musa dan Tengku Mat Aceh (1913).(Baca Halaman Selanjutnya : Serikat Islam Lahir Pada Tahun 1916 Di Tapa 'Tuan - Aceh)[am][]
No comments: