Ads Top

Sebuah Kapal Inggris Bernama Nisero Terdampar Di Pantai Panga, Aceh Barat Pada November 1883

Dalam bulan Agustus 1883 datanglah bantuan lebih kurang 500 orang dari pantai Utara, dan bulan Juli 1884 pasukannya diperkuat lagi dengan 250 orang dari berbagai daerah serta mengambil tempat di Mukim XXVI. Seranganserangan dilanjutkan sehingga Belanda terpaksa mengundurkan diri dari XXII Mukim dan sebagian dari XXVI Mukim, dan terpaksa bertahan di belakang lini
tempat-tempat pengawalan yang kuat. Panglima perang Teuku Nya' Makam, yang bergerilya di Aceh Timur, datang ke daerah Aceh Besar dan memainkan peranan penting dalam serangan-serangan. Bahkan pasukannya sempat menyusup ke Pulo Breueh.[baca halaman sebelumnya : Dalam Sejarah Kolonial Belanda. Pada Tahun 1880 Kutaraja Kelihatannya Sudah Aman. ]

Dari daerah-daerah pantai yang masih mendapat keuntungan karena dapat berdagang dengan bebas ke luar, dapat diperoleh sebagian dana perang sabil. Akibat kejadian-kejadian itu adalah bahwa beberapa kepala daerah tidak mau bekerja sama lagi dengan Belanda. Di XXII Mukim Teuku Umar melakukan kegiatankegiatan yang mengganggu keamanan pihak Belanda. Sebuah peristiwa lain menunjukkan bahwa selama peperangan itu Belanda sama sekali tidak berdaya menegakkan kekuasaannya di Aceh. Peristiwa ini, yang dinamai oleh pihak Belanda "Niseroquaestie", atau masalah kapal Nisero, mempunyai arti internasional. Sebuah kapal Inggris bernama Nisero terdampar di pantai Panga, Aceh Barat, pada bulan November 1883. Raja Teunom, Teuku Imeum Muda, menyita isi kapal dan menangkap awaknya. Belanda menuntut dibebaskannya awak kapal itu, tetapi raja Teunom menuntut uang tebusan sedemikian tingginya sehingga tidak sanggup dibayar oleh Belanda.

Kemudian kapal perang Kerajaan Inggris Pegasus muncul diperairan pantai Aceh dengan tugas menuju Teunom dan langsung mengadakan hubungan dengan raja Teunom guna membebaskan orang-orang yang ditawannya itu. Gubernur Belanda dengan pahit terpaksa membiarkan tindakan Inggris itu guna menghindari kesulitan-kesulitan dengan pihak Inggris. Usaha Inggris di sini tidak berhasil. Pada tanggal 4 Januari 1884 oleh pihak Belanda dikirim sepasukan tentara ke Teunom, tetapi gagal membebaskan para tawanan karena para tawanan telah dibawa jauh ke pedalaman. 

Juga kedatangan George Maxwell, anggota Dewan Jajahan Inggris di Singapura, ke Teunom untuk membebaskan orang-orang Inggris yang tertawan itu mengalami kegagalan karena tuntutan uang tebusan yang dituntut oleh raja Teunom terlalu tinggi. Setelah itu Gubernur Laging Tobias meminta pertolongan kepada Teuku Umar yang sementara itu telah "bersahabat" dengan Belanda untuk mengusahakan agar para tawanan itu dibebaskan. Pada tanggal 3 Juli 1884, Teuku Umar dengan 32 orang pengikutnya dikirim dengan kapal perang "Bengkoelen" ke Teunom.

Sebelum sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba ia menewaskan pendayung-pendayung sampan dan merampas senjata-senjata dan amunisi Belanda. Setelah mengetahui bahwa Belanda tidak berdaya sama sekali menghadapi persoalan ini, Pemerintah Inggris tidak saja ingin campur tangan dalam masalah pembebasan awak kapal Nisero, tetapi menuntut agar keadaan perang di Aceh diakhiri . Hal ini di tolak oleh Belanda. Belanda setuju bersama pihak Inggris mengadakan hubungan dengan raja Teunom, dan untuk ini ditugaskan Laging Tobias dan Maxwell. 

Akhirnya raja Teunom setuju menukar tawanan tersebut dengan tebusan 100.000 ringgit disertai pencabutan blokade pelabuhan Teunom oleh pihak Belanda. Keadaan yang tidak memuaskan bagi Belanda itu menurut pendapat Laging Tobias dapat diatasi dengan memulihkan kesultanan Aceh di bawah Tuanku Muhamad Daud Syah. Usul Laging Tobias tidak dapat di terima oleh Pemerintah Belanda. Dalam bulan Februari 1884 ia meminta berhenti tetapi tidak diperkenankan. 

Dalam sidang-sidang rahasia Staten Generaal pada tanggal 16 dan 17 Juni 1884 diputuskanlah untuk kembali ke sistem lini tempat-tempat pengawalan yang tertutup yang mengelilingi pusat pendudukan Belanda dan bersama dengan itu melakukan blokade terhadap daerah-daerah di tepi pantai. Koloniaal Verslag 1885 mengakui bahwa perlawanan terhadap Belanda makin bertambah; kekuatan Belanda berkurang dengan banyaknya pasukan yang tewas, dan keuangan Belanda bertambah parah. Biaya perang pada pihak Belanda sampai akhir tahun 1884 naik menjadi 150 juta florin. 

Tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan demikian mengapa sampai Pemerintah di negeri Belanda ingin melaksanakan sistem pertahanan "konsentrasi", yaitu menarik diri ke daerah yang menurut Belanda sudah sungguh-sungguh berada di bawah kekuasaan militernya. Gubernur Laging Tobias mengusulkan kepada pemerintah di Batavia agar pemerintahan sipil dan militer disatukan dalam satu tangan. Ia sendiri menentang sistem konsentrasi, dan kemudian iapun berhenti. 

Pada tanggal 19 Agustus 1884 diangkatlah Kolonel Demmeni menjadi Gubernur Sipil dan Militer untuk melaksanakan sistem itu. Dalam pada itu, Tuanku Muhamad Daud Syah dianggap sudah dewasa dan baginda mulai menjalankan tugasnya sebagai sultan pada akhir tahun 1883. Sultan yang masih muda ini diakui dan dipatuhi oleh seluruh lapisan rakyat Aceh. Beliau menjalankan tugasnya sebagai sultan dengan dibantu oleh Tuanku Hasyim Bangtamuda sebagai rajamuda dan Teungku di Tiro sebagai kadi. Sultan berseru kepada para uleebalang agar mereka melanjutkan dan mengintensifkan pengumpulan uang dan harta-benda untuk kepentingan perang sabil. 

Selain itu, diangkat pula Teuku Umar sebagai amirul bahri, atau panglima laut, untuk Aceh Barat; Tuanku Mahmud, adik Tuanku Hasyim Bangtamuda, diangkat sebagai wakil sultan untuk Aceh Barat dengan gelar Bangtakecil, yang sejak tahun 1886 berada di Kluang, Daya, dan Lam Beusoe dan berpengaruh di wilayah ini. Pada tahun 1889, 16 tahun sesudah perang Belanda berlangsung, di samping Panglima Polem ada pula pemimpin yang sangat berpengaruh, yang menjadi pengikut setia Sultan Aceh di Keumala. Mereka itu adalah (1) Kepala Sagi XXVI Mukim yang sah, Teuku Cut Banta, yang berumur sekitar 17 tahun dan bertempat tinggal di Keumala, (2) Kepala Sagi XXV Mukim yang sah, Teuku Sri Ulama, dan tinggal di Pate ', Aceh Barat, (3) Teuku Umar, yang oleh Sultan Muhamad Daud Syah diangkat sebagai amirul bahri di Aceh Barat, (4) Teuku Mansur dari Meulaboh, (5) Laksamana Njöng, (6) Teuku Cut Muda Latif Syamsul Bahri, Panglima Perang Sultan untuk pantai Utara dan Timur, adik uleebalang Meureudu, (7) Teuku Bentara CumbS ', Kepala III Mukim Pidie, yang bersama Teuku Ben Titue merupakan penasihatpenasihat Sultan yang terpercaya, dan (8) sejumlah pemimpin dan tokoh lainnya di dalam dan di luar daerah Aceh besar. 

Pemimpin-pemimpin agama seperti Teungku Chi 'di Tiro Muhammad Saman bertambah giat dalam memimpin pertempuran melawan Belanda, terutama setelah pasukan Belanda memusatkan kekuatannya di Kutaraja dan sekitarnya dengan sistem konsentrasi, yang pelaksanaannya dimulai pada bulan Maret 1885 di bawah Kolonel Demmeni. Kegiatan terhadap masalah di luar daerah Aceh Besar sedapat mungkin dibatasi Belanda. Tempat-tempat pengawalan yang ada di Samalanga dan Lho 'Seumawe dihapuskan pada tahun 1884. Pengurangan tempat-tempat pengawalan ini memungkinkan Belanda mengurangi tentaranya sebanyak tiga batalyon infanteri. [Bersambung Kebagian : Teuku Umar Menyerang Kapal Api Hok Canton (Juni 1886) Di Pantai Rigaih, Aceh Barat][am]








No comments:

Powered by Blogger.