Ads Top

Teuku Umar Menyatakan Kesetiaan Terhadap Pemerintah Belanda (30 September 1893)

Perjuangan rakyat Aceh juga mengalami pasang naik dan pasang surut. Pada bulan Januari 1891 pemimpin-pemimpin Aceh yang gigih, Teungku di Tiro Muhammad Saman dan Panglima Polem Raja Kuala, berpulang ke rahmatullah. Panglima Polem Raja Kuala digantikan oleh anaknya Raja Daud sebagai Panglima Pole'm. Ia dibantu oleh 2 orang panglimanya, abang ipar Teuku Alibasyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie '.
Raja Daud bekerja sama secara baik dengan mertuanya, Tuanku Hasyim Bangtamuda. Raja Daud berhasil mengumpulkan dana Sabilillah yang hampir mencapai 35.000 ringgit di daerahnya dalam XXII Mukim, sedangkan Tuanku Hasyim mengumpulkan amunisi di dalam daerah VII Mukim Pidie.

 Dengan bekerja sama dengan ulama-ulama Teungku Mayet Tiro, Teungku Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Pante 'Glima, Panglima Polem mendirikan kubu pertahanan guna menghadapi serangan Belanda terhadap XXII Mukim. Teungku Muhamad Amin pada bulan Januari 1892 menggantikan ayahnya Teungku Syeh Saman di Tiro dan mendapat pengakuan dari Sultan. Selain Teungku Muhamad Amin dan adiknya Teungku Bep, pimpinan perang di pihak Aceh pada waktu itu adalah Teungku Pante Kulu, Teungku Ali Lam Kra ', Teungku Kuta Karang, Teungku bule, Habib Samalanga, Teungku di Galeue, Teungku Raye', dan Habib Lhong, Teungku Husen Lueng Bata dan Pocut Mat Tahé, keduanya diangkat sebagai Panglima Besar pasukan muslimin bertepatan dengan pengangkatan Teuku Nya 'Makam sebagai Panglima Besar untuk Aceh Timur.

Dalam bulan Juni 1893 terjadi pertempuran sengit di daerah Tamiang yang dipimpin oleh Panglima Nya 'Makam; dalam pertempuran ini sejumlah perwira dan bawahan Belanda tewas. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban dalam garis pertahanan konsentrasi, pihak Belanda mendirikan "Korps Marechaussee", yaitu sejenis tim khusus, pada bulan April 1890. Kerugian pada pihak Belanda cukup besar yang setelah hampir seperlima abad berperang, yaitu pada tahun 1891, sebesar 200 juta florin habis untuk perang, 1280 orang tewas, dan 5287 orang luka-luka. Kolonel Pompe van Meerdervoort, yang menggantikan Jenderal van Teijn pada bulan Mei 1891, memiliki pandangan yang lain pula terhadap perang Belanda di Aceh ini. Ia mendukung politik lunak dan tidak campur tangan dalam persoalan-persoalan yang timbul di antara para uleebalang atau kepala-kepala daearah di Aceh. Pemerintah Kolonial tidak setuju dengan kebijaksanaan ini, dan karena itu Pompe van Meerdervoort mengundurkan diri dalam bulan Januari 1891 dan digantikan oleh Kolonel Deijkerhoff.


Mulai bulan Juli 1891 sampai bulan februari 1892 terjadilah peristiwa penting, yakni diadakannya penelitian tentang agama dan politik di Aceh oleh Dr. C. Snouck Hurgronje atas permintaan Gubernur Pompe van Meerdervoort. Tujuannya adalah mengetahui bagaimana sikap para ulama setelah berpulangnya Teungku Chi 'di Tiro Muhammad Saman dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan mana yang harus ditempuh oleh Sultan di Keumala menurut kehendak para ulama itu. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa pada umumnya yang dihadapi Belanda adalah sebuah gerakan rakyat yang fanatik (sic f), yang dipimpin oleh para ulama, dan mereka ini hanya dapat ditaklukkan bilamana Belanda mempergunakan kekuatan senjata.

Pemerintah Belanda terkejut mendengar pendapat ini. Pada tahun 1893 sistem konsentrasi sudah berjalan 9 tahun lamanya, tetapi harus diakui bahwa tujuannya tidak tercapai. Desa-desa yang berada di dekat garis pertahanan konsentrasi terus-menerus mendapat gangguan dari pihak pejuang Aceh, dan Belanda harus menempatkan tempat-tempat pengawalan sementara di luar garis pertahanan konsentrasi dengan alasan untuk menjaga keamanan dan melindungi desa yang bersahabat dengan pihak Belanda. Pada pihak Belanda sendiri ada pula anggota-anggota tentaranya yang menyeberang ke pihak Aceh. Pada masa sebelum diadakan garis pertahanan konsentrasi, yakni antara tahun 1882 dan 1885, yang menyeberang ke pihak Aceh berjumlah 33 orang Eropa dengan perincian: 10 orang Belanda, 5 orang Prancis, 10 orang Belgia, 5 orang Jerman, 1 orang Swis dan 2 orang Luxemburg , sedangkan yang bumiputra berjumlah 13 orang yang menyeberang. Setelah dibangun sistem garis pertahanan konsentrasi, yaitu dari tahun 1885 sampai 1893, ada 18 orang anggota tim Belanda yang melarikan diri ke pihak Aceh, yang terdiri dari 5 orang Belanda, 1 orang Prancis, 3 orang Belgia, 7 orang Jerman dan 2 orang Luxemburg, sedangkan bumiputra tercatat 15 orang. Sementara itu, dalam bulan September 1893 terjadi pula sebuah peristiwa yang cukup penting.

 Atas saran Dr. C. Snouck Hurgronje, Pemerintah siap menerima penyerahan Teuku Umar. Pada tanggal 30 September 1893 Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan kesetiaan terhadap Pemerintah Belanda, dan mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan serta jabatan Panglima Perang Besar. Kepadanya diberi hak untuk memiliki tentara sebanyak 250 orang. Di antara panglima-panglimanya itu ada 3 orang anggota keluarganya. Selain itu, diberikan pula uang sebanyak 66.360 florin setahun untuk diteruskan kepada para pengikutnya, dan sebuah rumah dibuatkan pula untuknya oleh Pemerintah di Lam Pisang. Dengan keputusan pemerintah Belanda tanggal 19 Januari 1896 ia diangkat sebagai uteebalang Leupueng, di sebelah Selatan daerah Aceh Besar. Pihak Belanda kemudian menyesalkan Deijkerhoff yang telah memberikan kepercayaan penuh, senjata, dan uang kepada Teuku Umar. Pada awal tahun 1896 tempat-tempat pengawalan masih sulit dicapai karena adanya bahaya tembakan pihak pasukan Aceh di dekat-dekat tempat itu dan penyerangan terhadap patroli dan angkutan, misalnya di daerah lam Kra ', VII Mukim Ba'ét, daerah Aceh Besar (pertempuran tanggal 7 Maret 1896). Suatu peristiwa yang menggemparkan Belanda terjadi pada pengujung bulan Maret 1896.

Teuku Umar dengan sejumlah pimpinan Aceh meninggalkan Belanda. Dia telah memiliki uang, mesiu, dan alat-alat senjata. Pasukannya telah banyak mempelajari cara-cara bertempur dari pihak Belanda. Pada hari Teuku Umar meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya, Gubernur Deijkerhoff mengirimkan kawat kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk meminta bantuan tenaga tempur. Bersamaan dengan datangnya bala bantuan, datang pula Panglima Angkatan Darat seluruh Hindia Belanda, Letnan Jenderal JA Vetter, untuk mengambil tindakan setempat yang diperlukan. Di bawah pimpinan Vetter dengan tambahan pasukan dari Jawa dan bantuan angkatan lautnya, mulailah Belanda menembaki kubukubu pertahanan Aceh, termasuk daerah-daerah di luar lini konsentrasi. Setelah Belanda tidak berhasil meminta kembali senjatanya kepada Teuku Umar, maka pada tanggal 26 April ia dipecat dari semua jabatan yang telah diberikan oleh Belanda, dan sejak tanggal 27 April 1896 dimulailah pengejaran terhadap Teuku Umar.[Bersambung Ke Bagian : Belanda  Meninggalkan Sistem Pertahanan Konsentrasi  Yang Dianutnya Sejak 1884][am | tvaceh.com]

No comments:

Powered by Blogger.