Serikat Islam Lahir Pada Tahun 1916 Di Tapa 'Tuan - Aceh
Selain perjuangan bersenjata menentang kolonialisme Belanda sebagaimana diuraikan di atas, rakyat Aceh pun turut serta di dalam perjuangan tidak bersenjata menentang kolonialisme melalui gerakan-gerakan nasional dan di forum nasional. Gema pergerakan nasional di Pulau Jawa sampai pula ke belahan Barat Nusantara.
Pada tahun 1916 Serikat Islam lahir di Tapa 'Tuan dan kemudian mendapat pengikut di tempat-tempat lain di Aceh. Teuku Keujeuruen Chi 'Muhamad Alibasyah, uleebalang Samalanga dan Teuku Abdul Hamid Orang Kaya Sri Maharaja dari Lho' Seumawe bersama ratusan anggota masyarakat turut aktif menjadi anggota Serikat Islam. Sebagai akibat dari kegiatannya di dalam Serikat Islam, pada tahun 1920 Teuku Chi 'Muhamad Sa'id dari Cunda, Teuku Abdul Latif dari Geudöng dan Teuku RHI Single dari Nisam dibuang ke luar Aceh, masing-masing ke Sumatera Barat (kemudian ke pulau Jawa) , ke Timor dan ke Irian Jaya (Tanah Merah).
Selain turut serta dalam gerakan nasional di daerah, sejumlah putra daerah Aceh lulusan sekolah-sekolah Pemerintah Hindia Belanda turut pula berkecimpung di dalam pergerakan nasional di Pulau Jawa, antara lain Teuku Muhamad Hanafiah dari Peukan Bada, Teuku Mohamad Hasan dari Pineung yang aktif di dalam Jong Sumatranen Bond yang bersamasama pemuda Muhamad Yamin dan lain-lain turut memberikan kontribusi dalam kelahiran Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Teuku Mohamad Hanafiah yang sedang melanjutkan pendidikannya pada Rechtshooge School di Batavia adalah seorang pimpinan Jong Sumatranen Bond.
Perserikatan itu menunjuk beliau menyusun buku peringatan sepuluh tahun Jong Sumatranen Bond, sedangkan pemuda Mohamad Yamin mewakili perserikatan itu dalam rangka pertemuan pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Baik Teuku Mohamad Hanafiah maupun Teuku Mohamad Hasan pernah menjadi Wakil Ketua Jong Sumatranen Bond. Sementara itu pada tahun 1918 Teuku Chi 'Muhamad Thayéb, seorang lulusan Osvia (Opleidingsschool voor Indische Ambtenaren = Sekolah Pamong Praja) yang kemudian menjadi uleebalang Peureula', duduk di dalam Volksraad serta aktif di dalam Nationaal Indische Partij (NIP). Karena keberaniannya, Teuku Chi 'Muhamad Thayéb hanya sekitar dua tahun saja diperkenankan oleh Pemerintah Hindia Belanda duduk di Volksraad.
Kemudian Teuku Nya 'Arif dari Sagi XXVI Mukim Aceh Besar diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927 sampai 1932.
Teuku Nya 'Arif bersama Suangkupon, R.P. Suroso, M. Husni Thamrin, Kusumo Utoyo, Dwijo Sewoyo, Mukhtar, Datuk Kayo, Sutadi dan Pangeran Ali membentuk Fraksi Nasional di dalam Volksraad pada bulan Januari 1930 dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka secepat mungkin. Sekitar 4 bulan sebelum lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, dalam sidang Volksraad tanggal 18 Juni 1928 Teuku Nya 'Arif dengan semangat yang berapi-api disertai keharuan dan kecintaan Tanah Air yang meluap-luap telah mengumandangkan kata dan pengertian Indonesia dan bahwa serikat nasional merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Dia menegaskan bahwa persyaratan untuk kesatuan nasional telah kita miliki. Selain memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah Aceh Teuku Nya 'Arif di Volksraad turut pula memperjuangkan bidang pendidikan nasional yang mencakup usul-usul untuk memberi kesempatan yang luas kepada rakyat untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah yang lebih tinggi, perbaikan gaji guru, serta peningkatan mutu para guru di Indonesia, di samping kecaman-kecaman yang dilakukan terhadap politik Pemerintah Hindia Belanda di bidang perekonomian dan perpajakan.
Dalam salah satu upaya pemersatuan Indonesia, Teuku Nya 'Arif dalam sidang Volksraad menolak kebijaksaan Pemerintah Hindia Belanda yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dan sebaliknya mengusulkan agar bahasa Indonesia / bahasa Melayu dipergunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Tumbuhnya organisasi Muhammadiyah disambut pula di daerah Aceh dengan didirikannya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1923 di Kutaraja, tetapi karena tindakan politik kolonial Belanda tidak memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk menggunakan sarana organisasi politik dalam perjuangan nasional, maka Muhammadiyah di daerah Aceh telah berhasil dimanfaatkan menjadi sarana perjuangan politik dengan cabang-cabangnya yang didirikan hampir di seluruh daerah Aceh.
Muhammadiyah dilarang di Aceh Barat karena dikhawatirkan oleh pihak Belanda bahwa Muhammadiyah dapat digunakan sebagai sarana untuk menentang Pemerintah Hindia Belanda, terutama karena Aceh Barat di sekitar tahuntahun dua puluhan masih rawan karena masih bergemerincingnya pedang pejuang-pejuang Aceh. Pada awal tahun 1924 tampak gejalagejala bahwa akan timbul perlawanan baru di Aceh Selatan. Gejala-gejala itu menjadi kenyataan pada tahun 1925, dan dipimpin oleh Cut Ali, mantan Panglima Teuku Ben Biang Pidie.
Pada tanggal 3 April 1926 Kapten J. Paris tewas beserta 2 orang kadet dan 3 orang Marsose, sedang 12 orang Marsose dan 1 orang hukuman luka parah. Tapi akhirnya Letnan Gosenson dapat mengalahkan Cut Ali pada tanggal 25 Mei 1927.Setelah Cut Ali gugur, tidak sedikit pemimpin pejuang lainnya muncul, seperti Teuku Moulöt yang akhirnya gugur semua. Baru saja pertandingan di Aceh Selatan itu berakhir, tidak lama antaranya, yaitu pada tahun 1933, telah muncul pula perlawanan rakyat di Lhong, yang kemudian diikuti oleh pertandingan di Leupueng pada tahun 1937. Pertandingan itu tidak berakhir sampai di situ saja.
Menjelang pendaratan Jepang ke Aceh, rakyat Aceh masih terus juga mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pada malam 23/24 Februari 1942 Controleur Seulimum, JC Tiggelman, tewas dan keesokan harinya Kepala Urusan Kereta Api Aceh, Graaf U. Bernstorff von Sperling, tewas pula dekat Keumire, Seulimeum. Pertandingan di dalam daerah Sagi XXII Mukim dipimpin oleh Teuku Panglima Polem Mohd. Ali, putra Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhamad Daud, sedang pertandingan di dalam Sagi XXVI dipimpin oleh Teuku Nya 'Arif serta pemimpin-pemimpin "Pusa" atau Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Demikianlah sekelumit jejak mereka yang mempertahankan setapak Nusantara.[am][]
No comments: