Belanda Meninggalkan Sistem Pertahanan Konsentrasi Yang Dianutnya Sejak 1884
Panglima Polem bersama pasukannya sebesar 400 orang menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Dalam pertempuran dari tanggal 8 sampai tanggal 21 April pada pihak Belanda jatuh korban 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka. Dalam pertempuran hebat di Aneu' Galông pada pihak Aceh telah
gugur 110 orang, (kebanyakan pejuang yang berasal dari daerah Pidie), sedangkan pada pihak Belanda 6 orang tewas, 33 orang luka-luka, di antaranya 4 orang perwira. Di antara pejuang-pejuang Aceh yang gugur terdapat Teungku Mat Amin, putera pemimpin Teungku Chi' di Tiro. Pertempuran ini sangat merugikan kedudukan pasukan pejuang Aceh. Jenderal Vetter, setelah lebih dari 2 bulan bertugas sebagai Panglima tentara Hindia Belanda menggarap soal Aceh, kembali ke Batavia setelah menganggap tugasnya selesai. J.J.K. de Moulin diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer daerah Aceh. Cuma 2 hari saja ia sempat menjadi Gubernur, kemudian meninggal, lalu digantikan oleh J.W. Stemfoort.
Belanda kini meninggalkan sistem pertahanan konsentrasi yang dianutnya sejak tahun 1884 dan memasuki politik agresi. Meskipun demikiarf, mereka memelihara keamanan penduduk yang bersahabat dengan Belanda, misalnya di negeri-negeri XXV Mukim, IV Mukim, dan VI Mukim, yang diserang oleh Teuku Umar. Karena Sultan bersama pengikut-pengikutnya berada di XXII Mukim, maka Belanda menyerang kawasan ini, dan pada tanggal 29 Juli 1896 Sultan mengundurkan diri dari sana. Dengan kekuatan 1 Vi batalion infanteri, pada bulan September Belanda menuju Seulimeum, dan Sultan menyingkir ke Pidie, sedang Panglima Polem ke daerah pegunungan XXII Mukim.
Pada awal September dan akhir bulan Oktober Belanda dengan kekuatan 2 batalion menuju pegunungan XXII Mukim dan dapat mendesak pasukan Aceh; Janthoe diduduki dan kubu-kubu pertahanan Aceh dihancurkan. Dalam pada itu, pada tanggal 8 November 1896, Mayor Jenderal Stemfoort menyerahkan jabatannya kepada penggantinya, Kolonel C.P.J. van Vliet. Cuaca yang buruk dari bulan November 1896 sampai pertengahan bulan Januari 1897 menyebabkan patroli Belanda sukar menjalankan tugasnya, dan keadaan ini kembali menguntungkan pemimpin-pemimpin Aceh. Mereka dapat mempersatukan kembali pasukan mereka yang telah cerai-berai serta memulai penyerangan-penyerangan.
Panglima Polem mendirikan kubukubu pertahanan, antara lain di Glé Yeueng, dan menduduki Kuta Ba' Teue. Malang pula bagi Aceh, pemimpin besar rakyat Aceh, Tuanku Hasyim Bangtamuda, berpulang ke rahmatullah pada tanggal 16 Januari 1897 di Padangtiji.
Mulai tahun 1897, inisiatif lebih banyak berada pada pihak Belanda. Belanda menghendaki penambahan kekuatan pasukannya. Pemerintah Hindia Belanda, sampai menanti persetujuan pemerintah pusat di negeri Belanda dengan keputusannya tertanggal 13 Januari 1897 No. 1 menambah korps marsosenya hingga berjumlah 5 opsir dan 365 bintara.
Ditetapkan pula bahwa korps ini di samping untuk dinas kepolisian, juga diberi tugas peperangan. Letnan Kolonel J. B. van Heutsz dengan aktifnya menyerang pihak Aceh di mana-mana sehingga Teuku Umar pun terpaksa mengundurkan diri ke Daya Hulu. Kelihatannya serangan-serangan pasukan Aceh semakin berkurang, tetapi di daerah pegunungan Polem merupakan lawan Belanda yang cukup tangguh. Dalam pertempuran pada tanggal 16 Mei 1897 di Gle Yeueng, Belanda dengan 4 kompi infanterinya dapat menguasai 3 buah benteng yang didirikan olëh Panglima Polem dengan korban 19 tewas, 55 luka-luka (8 orang kemudian tewas).
Pada bulan Juni 1897 rakyat mulai kembali ke Mukim IV dan VI, dan oleh Belanda dimulailah pendaftaran penduduk. Pada bulan Oktober 1897 Seulimeum diduduki tanpa banyak perlawanan. Pidie diserang oleh Letnan Kolonel J.B. van Heutsz pada bulan Agustus 1897 dengan tujuan membersihkan Peukan Baro dan Peukan Sot sebab kedua tempat itu merupakan pusat gangguan keamanan bagi Belanda. Dalam pertempuran ini pada pihak Aceh gugur 110 orang.
Bagaimanakah keadaan di luar Aceh Besar? Dengan mengundurkan diri Teuku Umar ke Hulu Lam Beusoe, Belanda menutup wilayah pantai sekitar Krueng Raba, dan penangkapan ikan juga dilarang. Pada bulan November 1897 Sultan menerima pemimpin-pemimpin Aceh seperti Teuku Panglima Polem.TeukuAli Ba'ét dan Teuku Geudóng dari Mukim IX Garôt. Di tempat ini telah berada Teuku Bentara Cumbó', Teuku Ben Sama'indra, Teuku Lampöh U, Habib Husen, Teungku Cot Plieng, dengan tujuan mengadakan musyawarah untuk menyusun perlawanan apabila Belanda sampai ke Pidie. Diputuskan untuk mengundang Teuku Umar ke Pidie dan bergabung dengan mereka. Pihak pemimpin adat di Pidie yang memihak kepada Belanda merasa takut dan meminta bantuan kepada Belanda.
Pada awal Januari 1898 Teuku Umar berangkat memenuhi panggilan Sultan dengan hampir seluruh kekuatannya dari Daya ke Pidie untuk menggabungkan diri dengan Sultan dan Panglima Polém. Pada bulan Februari ia tiba di Mukim VII Pidie dan bersama Panglima Polém ia memperkuat pertahanannya dan menyusun perlawanan. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Umar, Teuku Jöhan Lam Pasèh, Teuku Cut Tungköb, dan uléebalang-ulèebalang terkemuka dari Mukim VI dan XII mengangkat sumpah setia kepada Sultan Muhamad Daud Syah untuk bersama-sama meneruskan perang.
Van Heutsz, yang pada bulan Maret 1898 menggantikan Mayor Jenderal Van Vliet sebagai Gubernur Sipil dan Militer, berpendapat bahwa untuk mengakhiri perlawanan musuh di Aceh Besar, Pidie harus diserang dengan kekuatan senjata. Daerah ini sejak awal peperangan merupakan pusat kegiatan pihak pejuang dan tempat pengunduran diri pemimpin-pemimpin Aceh dari Aceh Besar. Dari tanggal 1 Juni 1898 sampai pertengahan September 1898 dilakukanlah serangan besar-besaran ke Pidie oleh pasukan Belanda, yang terbagi atas 2 kolone, Pidie dan Seulimeum, di bawah komando Van Heutsz, yang dibantu oleh penasihat Belanda urusan bumiputra, Dr. C. Snouck Hurgronje.[Bersambung ke bagian : Teuku Umar Diangkat Sebagai Pemimpin Perang Dalam Musyawarah Di Keude Meulu 23 Juli 1898][am | ]
No comments: