Teuku Umar Diangkat Sebagai Pemimpin Perang Dalam Musyawarah Di Keude Meulu 23 Juli 1898
Kolone Pidie kurang lebih 6000 orang, terdiri dari 125 perwira, 2.100 orang Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa, 1.200 pribumi, 200 orang pembantu, dan 2.400 nara pidana kerja paksa, sedangkan kolone Seulimeum sebesar lebih kurang 1.950 orang, terdiri dari 35 perwira, 450 orang Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa,
500 orang bawahan bumiputera, 50 orang pembantu, 400 orang nara pidana kerja paksa, serta 500 orang Cina sebagai tukang angkat.
500 orang bawahan bumiputera, 50 orang pembantu, 400 orang nara pidana kerja paksa, serta 500 orang Cina sebagai tukang angkat.
Pada waktu ini pemimpin tim pejuang Aceh
adalah sebagai berikut: di Mukim VII Panglima Polem bersama Tuanku Muhamad dari Kuala Bâtée, sedangkan di daerah Pidie adalah Sultan bersama pengikutpengikutnya, uleebalang Sama'indra, Cumbö ', Keumala dan Aree, Tungköb dan Garôt, Teuku Bentara Peukan Meureudu dan ulama-ulama Teungku di Gayo, Teungku di Cot Plieng, Habib Husen, dan lain-lain. Juga di dalam kelompok ini termasuk kepala-kepala adat yang telah mengundurkan diri dari Aceh Besar, dan terdiri dari Teuku Ibrahim Montasie ', Teuku Johan Lam Paseh, Teuku Ali Ba'ét, dan Teuku Cut Tungköb. Pada masa ini juga Teuku Umar
bersama kepala-kepala adat yang lain turut serta memperkuat diri di Garöt dan Aree, Sultan di Langga, dan Panglima Polem dengan pengikutpengikutnya bertahan di Padangtiji. Salah satu dari rangkaian pertempuran yang dahsyat ini adalah pertempuran di Pulo Cicém dan Kuta Putöih yang dipertahankan oleh antara lain Teungku di Gayo dan Teungku Cot Plieng. Di sini pada pihak Belanda tewas 5 orang dan sepuluh orang luka-luka, sedangkan di pihak Aceh gugur 78 orang. Pada tanggal 22 Agustus 1898 Keumala Dalam dapat diduduki Belanda. Pada pertengahan tahun 1898 Teungku Tapa di Idi, Aceh Timur, mengadakan pertandingan yang memaksa Van Heutsz mengirimkan pasukannya ysng langsung dipimpinnya sendiri.
Teungku Tapa terpaksa mengundurkan diri ke Aceh Barat dengan kerugian 80 orang gugur, sedangkan pada pihak Belanda 3 orang tewas dan 20 orang luka-luka. Kondisi di Idi dapat dipuluhkan kembali oleh Belanda, tetapi tidak lupa Van Heutsz mengenakan denda sebesar 150 ribu dolar ke daerah-daerah di pantai Timur ini. Setahun kemudian, pada bulan Mei 1899, Teungku Tapa muncul kembali dalam arena perang, kali ini di Pase, Aceh Utara, dengan ratusan pengikutnya yang berasal dari Gayo. Van Heutsz, yang pada waktu itu sudah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal, harus memimpin pertempuran melawan gerakan Teungku Tapa dan akhirnya dapat mendesak Teungku Tapa dari Pase.
Dalam musyawarah besar yang berlangsung pada tanggal 23 Juli 1898 di Keude Meulu, yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin adat dan agama, diputuskan untuk mengangkat
Teuku Umar sebagai pemimpin perang, dan mereka yang tidak turut serta dalam pertempuran diwajibkan menyumbangkan biaya untuk perang. Sementara itu, pasukan Belanda terus saja melakukan pengejaran di seluruh penjuru. Teuku Umar bertahan di lembah Beuniet, dekat Tangse, dan pada tanggal 24 Agustus ia mengundurkan diri ke Aceh Barat dengan mengambil tempat di sekitar Woyla dan Teunom. Teuku Umar akhirnya gugur pada tanggal 10 Februari 1899 di Ujong Kala ', dekat Meulaboh, dalam perjalanannya untuk menyerang Meulaboh. Belanda merasa lega dengan berhasilnya pasukan Marsose mengepung pemimpin Aceh di Beureunun pada awal September 1898, yang antara lain terdiri dari Teuku Bentara Glumpang Payong, Teuku Bentara Keumangan, dan seorang pemimpin wanita yang sangat berpengaruh Pocut di Ramböng, janda uleebalang Keumangan yang terdahulu.
Kembalinya Teuku Cut Ali Basyah (salah seorang keluarga Panglima Polem) secara sukarela ke tempat tinggalnya di daerah yang diduduki Belanda dan menyerahnya Teuku Cut Tungköb pada tanggal 8 Desember 1898 memberi pengaruh yang menguntungkan bagi pihak Belanda di Aceh Besar. Beberapa bulan sebelum ini Teuku Chi 'Peusangan telah melaporkan diri pula kepada pihak Belanda. Pada bulan November 1899 Sultan Muhamad Daud Syah dan Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri dari Pidie dan menuju ke Timur, ke Peusangan. Belanda mengejar mereka, dan dalam pertempuran di Buket Cot Phie pasukan Sultan dan Panglima Polem yang memiliki persenjataan yang baik telah menyebabkan pihak Belanda kerugian 3 orang tewas dan 8 orang luka-luka, sedang pihak Aceh 34 orang syahid. Panglima Polem dan Sultan mengundurkan diri ke bukit-bukit terpencil di hulu Peusangan.
Setelah Belanda mengusai bukit-bukit ini pada tanggal 21 Nopember 1899 yang dipertahankan mati-matian oleh Teuku di Biang Dalam, serikat-serikat Aceh berpencar-pencar. Sultan menyingkir ke Buket Keureutoe, Teuku Chi 'Peusangan ke Buket Peutoe, sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunung an di Selatan lembah Pidie. Pada awal tahun 1900 pemimpin-pemimpin Aceh yang sangat berpengaruh adalah: Sultan, Panglima Polem, Teungku di Mata le, dan Teungku di Barat di daerah Pase; Teungku Cot Plieng, Teungku di Alue Keutapang, Teungku di Reubee, Teungku di Lam Cut (Pidie), Teuku Ben Peukan (Meureudu), Teuku Ben Biang Pidie (Aceh Barat) dan Teungku-teungku dari Tiro, Teungku Chi 'Mayét dan Teungku di Buket, serta Habib Meulaboh. Pada awal tahun 1901 Van Heutsz merasa perlu pula membersihkan benteng-benteng Aceh yang masih ada di daerah Samalanga dan Meureudu. Ia dibantu oleh angkatan lautnya dengan mempergunakan kapal Tromp, Edi dan Siboga. Setelah dikejar-kejar Belanda di daerah Samalanga, Peudada dan Peusangan, Sultan menyingkir ke daerah Gayo. Daerah ini akan dijadikan pusat pertahanan pihak Aceh dan tempat persiapan untuk menyerang musuh kembali.
Dengan sendirinya Belanda ingin menguasai daerah ini, terlebih-lebih mengingat rakyat di daerah Gayo telah berpartisipasi secara aktif dalam perang melawan Belanda serta mendukung upaya perang sabil dengan perbekalan makanan. Selain itu, keujeurun-keujeurun atau raja-raja di daerah danau laut Tawar dan Döröt memberikan segala bantuan kepada Sultan.
Dari segenap penjuru Belanda kembali mengejar Sultan dan Panglima Polem yang telah berpindah tempat ke Gayo, daerah pedalaman yang belum pernah dimasuki Belanda. Rakyat hampir setiap hari menembaki pasukan Marsose Belanda dari lereng-lereng gunung di daerah ini. Diberangkatkanlah Mayor G.C.E. van Daalen dengan pasukannya (September - Nopember 1901) dari daerah Pase, dan Letnan Satu WBJA Scheepens (Juni-September 1902) dari Meureudu. Meskipun mereka dapat mengalahkan lawannya di sana-sini, tujuan menangkap Sultan dan Panglima Polem tidak tercapai. Apakah yang dilakukan Belanda? Pasukan Marsose di bawah Chnstoffel menyerbu dan menangkap istri Sultan, Teungku Putroe di Glumpang Payong pada tanggal 26 November 1902, dan sebulan kemudian, yakni pada hari Natal, menangkap istri Sultan lainnya, Pocut Cot Murong serta seorang putra Sultan di Lam Meulo.
Dengan hasil yang dicapai ini Belanda mengeluarkan ancaman kepada Sultan bahwa bilamana beliau tidak menyerah dalam tempo satu bulan, maka kedua istrinya akan dibuang. Akhirnya tersarung jualah pedang perang dan Berdamailah Tuanku Muhamad Daud Syah pada tanggal 10 Januari 1903. Peperangan berjalan terus.
Teungku Cot Plieng masih terus memimpin serangan-serangan di daerah Pidie, dan di pantai Timur bergerak Teungku di Barat dan Teungku di Mata le, bersama pemimpin-pemimpin lainnya serta Teuku Chi 'Tunong, Pang Nanggroe, dan Cut Meutia. Dalam pada itu, peristiwa penting lainnya terjadi pula. Kondisi memaksa Panglima Polem, setelah memberikan perlawanan yang gigih, menyeberangi sungai dan lembah, naik turun bukit dan gunung, masuk keluar hutan belantara, lalu menyarungkan pedang perangnya dan melapor kepada H. Colijn, pejabat Belanda di Lho 'Seumawe dengan lebih kurang 150 orang pengikutnya .(Baca Lanjutannya : Belanda Belum Bisa Menguasai Daerah Gayo-Alas) [am |]
No comments: