Dalam Sejarah Kolonial Belanda. Pada Tahun 1880 Kutaraja Kelihatannya Sudah Aman.
Operasi Van der Heijden ini dimulai pada tanggal 23 Juli 1878. Pada tanggal 25 Juli 1878 Seuneulob jatuh ke tangan Belanda (Belanda tewas 6 orang, luka-luka 42 orang). Di samping terdapat perpecahan di antara pimpinan pemerintahan Kerajaan Aceh dan kekalahannya di kubu yang terkuat Seuneulob, Habib berpendapat bahwa martabatnya telah turun di mata rakyat sehingga ia kemudian mengadakan hubungan dengan pihak Belanda. Pada tanggal 13 Oktober Habib menyerah kepada Belanda, dan ia dibenarkan
berangkat ke Jedah pada tanggal 23 November tahun itu juga dengan menikmati tunjangan 12.000 dolar setiap tahunnya dari pihak Belanda.
Beberapa bulan kemudian, yakni pada tanggal 9 Maret 1879, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Muda Ba'ét, menyerah pula, yang oleh Belanda dibuang ke pulau Banda. Ada juga beberapa orang kepala daerah setempat yang turut menyerah, di samping bekas syahbandar Panglima Tibang dan Kadi Panglima Polem, Teuku di Glé Jal. Tuanku Hasyim Bangtamuda dan Tuanku Muhamad Daud Syah tetap tidak mau menyerah, dan meninggalkan Aceh Besar menuju Keumala di daerah Pidie pada akhir tahun 1879 bersama Panglima Polém, Panglima Sagi XXII Mukim, dan tetap memusuhi Belanda, sedang Imeum Lueng Bata terus melanjutkan perlawanan bersenjata mempertahankan mesjid Indrapuri dan bergabung dengan Raja Kuala, anak tertua Panglima Polem, dengan mengambil tempat di Jrue'.
Dari tempat inilah mereka mempersiapkan usaha menyerang pasukan Belanda. Sebagai pengganti garis tempat-tempat pengawalan yang dibuat oleh Jenderal Pel, atas perintah Gubernur Jenderal dibuatlah oleh Van der Heijden tempat-tempat pengawalan untuk menduduki tempat-tempat strategis dan untuk melindungi penduduk yang tidak bermusuhan terhadap Belanda. Sampai awal tahun 1880 kerugian yang diderita Belanda dalam peperangan ini sudah lebih dari 115 juta florin. Dengan biaya yang sedemikian besar, yang dikeluarkan dalam masa 7 tahun itu, Belanda hanya mampu menguasai atau menduduki daerah seluas 10 km persegi yang merupakan hal yang "istimewa" dalam sejarah kolonial Belanda. Pada tahun 1880 Kutaraja kelihatannya sudah aman.
Di daerah Aceh Besar yang dikuasainya, Belanda terus-menerus mengadakan patroli. Komandan-komandan pos ditugaskan menggeledah penduduk apakah mereka membawa senjata tajam, dan apabila ditemui tanpa surat izin, pemiliknya harus dibawa ke Kutaraja. Selain itu, untuk mengambil hati rakyat diusahakan agar pegawai-pegawai Belanda yang mengunjungi berbagai tempat membawa sekedar obat-obatan seperti kina. Untuk daerah di luar Aceh Besar penguasa-penguasa kolonial pada waktu itu belum sanggup menggarap masalah yang dihadapi mereka, padahal di situ terhimpun kekuatan dan perbekalan yang siap menghadapi Belanda untuk jangka waktu yang lama.
Daerah-daerah ditepi pantai selalu membantu pasukan pejuang Aceh dengan tenaga manusia, perlengkapan perang, dan bahan-bahan makanan. Daerah-daerah yang tidak dikenakan larangan impor oleh Belanda menjadi kaya, dan menyebabkan Van der Heijden perlu mengadakan pengawasan yang ketat terhadap daerah-daerah tepi pantai untuk mencegah pejuang-pejuang Aceh yang melawan Belanda di daearah Aceh Besar mendapat perbekalan. Pejuang-pejuang Aceh kini sudah berpusat di Keumala, tempat kedudukan Sultan yang baru. Pemerintah kolonial di Batavia menginginkan supaya Keumala diserang, tetapi Van der Heijden rnengganggap belum tiba waktunya. Setelah pemerintahan militer yang keras itu digantikan oleh pemerintahan sipil di daerah Aceh Besar, pejuang-pejuang Aceh mendapat kesempatan untuk bergabung melakukan serangan lagi di bawah pemimpin-pemimpin mereka seperti Teuku Nya' Hasan, Teuku Umar, Panglima Nya' Bintang, Pang Saman, Pang Jareueng, Teuku Cut, Teuku Husen, Teuku Ali Pagar Aye, dan Said Ali. Dengan dipindahkannya Jenderal Van der Heijden, pihak pejuang Aceh mulai dapat bernapas kembali, dan peristiwa itu dianggap oleh pihak Aceh sebagai "pembuangan jenderal mata satu".
Tetapi pada tahun 1883 pihak Aceh kehilangan seorang panglimanya, yaitu Teuku Nya' Hasan, seorang panglima perang yang berani dan ahli dalam bergerilya. Menurut penelitian Jenderal Deijkerhoff sepuluh tahun kemudian, gugurnya panglima itu merupakan hal yang menguntungkan pihak Belanda. Dengan diangkatnya Pruys van der Hoeven menjadi Gubernur Sipil daerah Aceh, maka kegiatan patroli militer, yang oleh Van der Heijden dilakukan terus-menerus, dihentikan. Sebagai gantinya, beberapa ratus polisi bersenjata diserahi tugas menjaga keamanan. Keadaan ini memberi peluang kepada para pejuang Aceh untuk menyusup ke belakang kedudukan pertahanan Belanda.
Tentara Belanda pada waktu itu diperkirakan sudah berada dalam keadaan panik. Gubernur Jenderal van Lansberge pada tahun 1881 mengakui bahwa peperangan melawan Aceh telah menyebabkan tentara Hindia Belanda mengalami disorganisasi total. Pertempuran timbul di mana-mana, terlebih-lebih lagi ketika ulama(*) Teungku di Tiro Syeh Saman pada akhir 1881 mulai mengkhotbahkan perang sabil bersama pemimpin-pemimpin agama lainnya, memperbesar usaha pengumpulan dana yang disebut hak sabil, dan dapat mempersatukan barisan-barisan rakyat untuk menyerang Belanda yang dianggap kafir. Teungku Chi' di Tiro juga mengumpulkan murid-murid yang muda belia dari dèah (**) yang digalakkan oleh guru-guru mereka untuk mati syahid serta pemuda-pemuda dari pedalaman yang didorong oleh keluarga mereka untuk berkorban melawan kafir. Belanda menaksir bahwa Teungku Chi' di Tiro mengumpulkan dan mengerahkan 6000 orang dalam pasukannya. Dalam bulan Maret 1883, Laging Tobias menjadi Gubernur Sipil Aceh yang kedua.
Berlainan dengan pendapat sejawatnya yang terdahulu, keadaan di Aceh dianggapnya tidak memuaskan. Pihak Aceh melakukan taktik gerilya terus-menerus. Bila dapat didesak dari suatu daerah, mereka itu menghilang dan muncul lagi di tempat lain untuk menyerang pertahanan Belanda. Pasukan Teungku Chi' di Tiro dengan persenjataan yang baik merupakan pasukan yang dapat bergerak cepat. Dengan dibantu oleh kepala-kepala adat seperti tersebut dimuka dan Imeum Lam Ara, pasukan Tiro kadang-kadang tiba-tiba muncul di XXII Mukim, kemudian tampak pula di XXV Mukim.[baca sambungan lanjutan : Sebuah Kapal Inggris Bernama Nisero Terdampar Di Pantai Panga, Aceh Barat Pada November 1883 ]
Istilah/Arti :
(*) Ulama adalah sarjana di bidang ilmu agama Islam. Selain
itu, di Aceh dikenal juga sebutan Alem, malem dan leubè. Alem
adalah seseorang yang memahami ilmu agama Islam secara tidak
mendalam; kedudukannya antara malem dengan ulama
Malem adalah seseorang yang sekedarnya memahami ilmu
agama Islam; kedudukannya lebih tinggi dari leubé, tetapi
lebih rendah dari Alem. Leube adalah seseorang yang sekedarnya
memahami pengetahuan tentang agama Islam tanpa sengaja
mempelajarinya, tetapi taat melaksanakan ketentuan-ketentuan
agama; kedudukannya jauh lebih rendah dibandingkan
dengan ulama. Panggilan kepada keempat golongan ini adalah
Teungku, sama halnya dengan sebutan umum untuk setiap
orang Aceh.
(**) Deah, déah atau doyah (bhs. Ar. Zawiyah) adalah sejenis
rumah tempat melakukan ibadah di Aceh, berlantai batu
tinggi dan berdinding kayu, kadang-kadang disertai juga
sebuah mihrab beraspal; seluruh bangunan itu dikelilingi
tembok yang rendah. Dèah dan meunasah tidak digunakan
sebagai tempat melakukan shalat Jum'at.[]
[dok buku : perang kolonial belanda di aceh]
berangkat ke Jedah pada tanggal 23 November tahun itu juga dengan menikmati tunjangan 12.000 dolar setiap tahunnya dari pihak Belanda.
Beberapa bulan kemudian, yakni pada tanggal 9 Maret 1879, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Muda Ba'ét, menyerah pula, yang oleh Belanda dibuang ke pulau Banda. Ada juga beberapa orang kepala daerah setempat yang turut menyerah, di samping bekas syahbandar Panglima Tibang dan Kadi Panglima Polem, Teuku di Glé Jal. Tuanku Hasyim Bangtamuda dan Tuanku Muhamad Daud Syah tetap tidak mau menyerah, dan meninggalkan Aceh Besar menuju Keumala di daerah Pidie pada akhir tahun 1879 bersama Panglima Polém, Panglima Sagi XXII Mukim, dan tetap memusuhi Belanda, sedang Imeum Lueng Bata terus melanjutkan perlawanan bersenjata mempertahankan mesjid Indrapuri dan bergabung dengan Raja Kuala, anak tertua Panglima Polem, dengan mengambil tempat di Jrue'.
Dari tempat inilah mereka mempersiapkan usaha menyerang pasukan Belanda. Sebagai pengganti garis tempat-tempat pengawalan yang dibuat oleh Jenderal Pel, atas perintah Gubernur Jenderal dibuatlah oleh Van der Heijden tempat-tempat pengawalan untuk menduduki tempat-tempat strategis dan untuk melindungi penduduk yang tidak bermusuhan terhadap Belanda. Sampai awal tahun 1880 kerugian yang diderita Belanda dalam peperangan ini sudah lebih dari 115 juta florin. Dengan biaya yang sedemikian besar, yang dikeluarkan dalam masa 7 tahun itu, Belanda hanya mampu menguasai atau menduduki daerah seluas 10 km persegi yang merupakan hal yang "istimewa" dalam sejarah kolonial Belanda. Pada tahun 1880 Kutaraja kelihatannya sudah aman.
Di daerah Aceh Besar yang dikuasainya, Belanda terus-menerus mengadakan patroli. Komandan-komandan pos ditugaskan menggeledah penduduk apakah mereka membawa senjata tajam, dan apabila ditemui tanpa surat izin, pemiliknya harus dibawa ke Kutaraja. Selain itu, untuk mengambil hati rakyat diusahakan agar pegawai-pegawai Belanda yang mengunjungi berbagai tempat membawa sekedar obat-obatan seperti kina. Untuk daerah di luar Aceh Besar penguasa-penguasa kolonial pada waktu itu belum sanggup menggarap masalah yang dihadapi mereka, padahal di situ terhimpun kekuatan dan perbekalan yang siap menghadapi Belanda untuk jangka waktu yang lama.
Daerah-daerah ditepi pantai selalu membantu pasukan pejuang Aceh dengan tenaga manusia, perlengkapan perang, dan bahan-bahan makanan. Daerah-daerah yang tidak dikenakan larangan impor oleh Belanda menjadi kaya, dan menyebabkan Van der Heijden perlu mengadakan pengawasan yang ketat terhadap daerah-daerah tepi pantai untuk mencegah pejuang-pejuang Aceh yang melawan Belanda di daearah Aceh Besar mendapat perbekalan. Pejuang-pejuang Aceh kini sudah berpusat di Keumala, tempat kedudukan Sultan yang baru. Pemerintah kolonial di Batavia menginginkan supaya Keumala diserang, tetapi Van der Heijden rnengganggap belum tiba waktunya. Setelah pemerintahan militer yang keras itu digantikan oleh pemerintahan sipil di daerah Aceh Besar, pejuang-pejuang Aceh mendapat kesempatan untuk bergabung melakukan serangan lagi di bawah pemimpin-pemimpin mereka seperti Teuku Nya' Hasan, Teuku Umar, Panglima Nya' Bintang, Pang Saman, Pang Jareueng, Teuku Cut, Teuku Husen, Teuku Ali Pagar Aye, dan Said Ali. Dengan dipindahkannya Jenderal Van der Heijden, pihak pejuang Aceh mulai dapat bernapas kembali, dan peristiwa itu dianggap oleh pihak Aceh sebagai "pembuangan jenderal mata satu".
Tetapi pada tahun 1883 pihak Aceh kehilangan seorang panglimanya, yaitu Teuku Nya' Hasan, seorang panglima perang yang berani dan ahli dalam bergerilya. Menurut penelitian Jenderal Deijkerhoff sepuluh tahun kemudian, gugurnya panglima itu merupakan hal yang menguntungkan pihak Belanda. Dengan diangkatnya Pruys van der Hoeven menjadi Gubernur Sipil daerah Aceh, maka kegiatan patroli militer, yang oleh Van der Heijden dilakukan terus-menerus, dihentikan. Sebagai gantinya, beberapa ratus polisi bersenjata diserahi tugas menjaga keamanan. Keadaan ini memberi peluang kepada para pejuang Aceh untuk menyusup ke belakang kedudukan pertahanan Belanda.
Tentara Belanda pada waktu itu diperkirakan sudah berada dalam keadaan panik. Gubernur Jenderal van Lansberge pada tahun 1881 mengakui bahwa peperangan melawan Aceh telah menyebabkan tentara Hindia Belanda mengalami disorganisasi total. Pertempuran timbul di mana-mana, terlebih-lebih lagi ketika ulama(*) Teungku di Tiro Syeh Saman pada akhir 1881 mulai mengkhotbahkan perang sabil bersama pemimpin-pemimpin agama lainnya, memperbesar usaha pengumpulan dana yang disebut hak sabil, dan dapat mempersatukan barisan-barisan rakyat untuk menyerang Belanda yang dianggap kafir. Teungku Chi' di Tiro juga mengumpulkan murid-murid yang muda belia dari dèah (**) yang digalakkan oleh guru-guru mereka untuk mati syahid serta pemuda-pemuda dari pedalaman yang didorong oleh keluarga mereka untuk berkorban melawan kafir. Belanda menaksir bahwa Teungku Chi' di Tiro mengumpulkan dan mengerahkan 6000 orang dalam pasukannya. Dalam bulan Maret 1883, Laging Tobias menjadi Gubernur Sipil Aceh yang kedua.
Berlainan dengan pendapat sejawatnya yang terdahulu, keadaan di Aceh dianggapnya tidak memuaskan. Pihak Aceh melakukan taktik gerilya terus-menerus. Bila dapat didesak dari suatu daerah, mereka itu menghilang dan muncul lagi di tempat lain untuk menyerang pertahanan Belanda. Pasukan Teungku Chi' di Tiro dengan persenjataan yang baik merupakan pasukan yang dapat bergerak cepat. Dengan dibantu oleh kepala-kepala adat seperti tersebut dimuka dan Imeum Lam Ara, pasukan Tiro kadang-kadang tiba-tiba muncul di XXII Mukim, kemudian tampak pula di XXV Mukim.[baca sambungan lanjutan : Sebuah Kapal Inggris Bernama Nisero Terdampar Di Pantai Panga, Aceh Barat Pada November 1883 ]
Istilah/Arti :
(*) Ulama adalah sarjana di bidang ilmu agama Islam. Selain
itu, di Aceh dikenal juga sebutan Alem, malem dan leubè. Alem
adalah seseorang yang memahami ilmu agama Islam secara tidak
mendalam; kedudukannya antara malem dengan ulama
Malem adalah seseorang yang sekedarnya memahami ilmu
agama Islam; kedudukannya lebih tinggi dari leubé, tetapi
lebih rendah dari Alem. Leube adalah seseorang yang sekedarnya
memahami pengetahuan tentang agama Islam tanpa sengaja
mempelajarinya, tetapi taat melaksanakan ketentuan-ketentuan
agama; kedudukannya jauh lebih rendah dibandingkan
dengan ulama. Panggilan kepada keempat golongan ini adalah
Teungku, sama halnya dengan sebutan umum untuk setiap
orang Aceh.
(**) Deah, déah atau doyah (bhs. Ar. Zawiyah) adalah sejenis
rumah tempat melakukan ibadah di Aceh, berlantai batu
tinggi dan berdinding kayu, kadang-kadang disertai juga
sebuah mihrab beraspal; seluruh bangunan itu dikelilingi
tembok yang rendah. Dèah dan meunasah tidak digunakan
sebagai tempat melakukan shalat Jum'at.[]
[dok buku : perang kolonial belanda di aceh]
No comments: