Ads Top

Belanda Menghentikan Agresinya Untuk Sementara Dengan Kerajaan Aceh


Pada tanggal 4 Januari tiba lagi 500 orang anggota pasukan pejuang Aceh dari Sagi XXII Mukim untuk mempertahankan Dalam. Pimpinan pertahanan waktu itu dipegang oleh putera Raja negeri Pidie. Raja Pidie (**) sendiri datang ke Aceh Besar dengan mengikutsertakan 500 orang anggota tim dan mengambil tempat bertahan di Lueng Bata, sedang pada pertengahan bulan Januari tiba lagi 1000 orang anggota pasukan pejuang Aceh dari Peusangan dengan mengambil posisi di Kuala Cangköy. Ketika Dalam terus-menerus dihujani
peluru Belanda, wabah kolera sedang berjangkit pula, Dalam pada itu, Sultan, Panglima Polem dan Teuku Ba'et menyingkir ke Lueng Bata. Sewaktu Dalam dapat direbut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari, Belanda menghentikan agresinya untuk sementara dengan harapan agar dapat dipaksakan sebuah persetujuan perdamaian dengan Sultan Aceh seperti yang dilakukan di Siak (Traktat Siak). Sementara itu, Sultan Mahmud Syah mangkat karena wabah kolera pada tanggal 29 Januari di Pagar Aye 'dan dimakamkan di Cot Bada dekat Samahani. Namun pasukan pejuang Aceh tidak merasa terpukul kalah. Meskipun yang telah dikuasai Belanda hanya Dalam saja, Letnan Jenderal Van Swieten pada tanggal 31 Januari 1874 menyatakan bahwa Pemerintah Aceh sudah ditaklukkan dan bahwa "pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan Sultan dan menempatkan daerah Aceh Besar menjadi milik pemerintah Hindia Belanda". 


Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 kembali ke Batavia (Jakarta) dengan meninggalkan korban tewas sebanyak 28 orang perwira, 1024 bawahan, serta 52 orang perwira dan 1082 bawahan yang luka-luka dan sakit serta diungsikan ke tempat lain. Belanda menyangka bahwa dengan menduduki Dalam serta sebagian kecil daerah Aceh Besar dan dengan secarik kertas "pernyataan" sudah cukup membuat wilayah kerajaan Aceh lainnya segera bertekuk lutut kepada Belanda. Kiranya perlawanan dari pihak pejuang Aceh bertambah meningkat. Setelah melihat bahwa Belanda akan terus juga menduduki Dalam, maka Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Chi' Lam Nga berusaha menaklukkan daerah Meura'sa dengan pasukannya yang berseragam serba putih dan berhasil memusnahkan 250 buah rumah di daerah itu, walaupun kemudian dapat dipukul mundur oleh Belanda. Namun kekalahan ini tidak menyebabkan mereka berputus asa. Dalam bulan Juni dan Agustus 1874 mereka mendirikan benteng-benteng di sekitar tempattempat yang diduduki Belanda. Di samping daerah-daerah pantai yang bahu-membahu turut melawan Belanda, ada juga beberapa daerah yang telah "berdamai" dengan Belanda dengan maksud agar dapat menjalankan kegiatan perdagangan tanpa gangguan. 

Kesempatan ini dipergunakan untuk membantu perbekalan pihak pejuang-pejuang Aceh. Dalam pada itu.Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usul Jenderal Pel (yang menggantikan Van Swieten) untuk menduduki daerah Krueng Raba di pantai Utara Sagi XXII Mukim guna mendirikan sebuah garis pos dengan harapan agar hubungan perdagangan dan politik kerajaan Aceh dengan luar negeri terputus, dan di bidang perniagaan akan tergantung kepada Belanda. Diusahakan pula oleh Jenderal Pel untuk mendapatkan daerah yang, baik untuk pelabuhan transito bagi perdagangan antara Sumatra bagian Utara dengan Semenanjung Tanah Melayu, dan dalam hubungan dengan Eropah dijadikan tempat penimbunan hasil bumi dan barang-barang keperluan daerah sekitarnya. Setelah Belanda menerima bantuan dari pulau Jawa, dalam bulan Desember 1875 sampai dengan bulan Januari 1876 dijalankanlah apa yang oleh Belanda disebut "operasi tujuh puluh hari" sehingga pejuang-pejuang Aceh tidak dapat mempertahankan Sagi XXII Mukim dan daratan sebelah Timur Krueng (sungai) Aceh dari serbuan Belanda, kendatipun mereka berhasil juga menimbulkan kerugian besar pada pihak Belanda.

 Biaya peperangan pada pihak Belanda selama tahun-tahun 1873 dan 1874 berjumlah 16.715.901,76 florin, sedang biaya untuk tahun 1875 melebihi biaya kedua tahun itu, yakni 21 juta florin dan biaya untuk tahun 1876 berjumlah 26,5 juta florin. Jenderal G.B.T. Wiggers van Kerchem, yang menggantikan Jenderal Pel pada tanggal 10 Maret 1876, (Jenderal Pel meninggal pada tanggal 24/25 Februari 1876 karena "pecahnya urat nadi" di bivak Tunggay, Lam Nyong) memperbaiki dan memperluas lini pembendung yang telah ada. Ia mengalami kesulitan karena pasukannya tidak cukup banyak untuk menduduki 47 buah tempat pengawalan. Hal ini diketahui oleh pihak Aceh dan karena itu pejuang-pejuang Aceh dapat menembus garis pertahanan Belanda, sedangkan pasukanjBelanda tidak mampu menjaga keamanan di belakang garis pertahanan. Dengan kembalinya Habib Abdurahman el Zahir dari Turki untuk meminta bantuan dalam menghadapi Belanda, dan ia memimpin perlawanan, pihak Aceh lebih gigih lagi menggempur kedudukan pertahanan Belanda di mana-mana, bahkan pada akhir tahun 1877 dan awal tahun 1878 garis pertahanan Belanda dapat ditembus sampai-sampai ke Pante Pira' yang terletak di tengah-tengah kota Kutaraja.

 Dalam bulan Mei 1878 di dalam musyawarah antara pemimpin-pemimpin Aceh di Cot Bada ditetapkan untuk menyusun rencana penyerangan terhadap kedudukan pertahanan Belanda. Pada tanggal 18 Juni berikutnya Habib bersama lebih kurang 2000 orang pasukan menyusup melalui jalan gunung dan menduduki Leupueng serta lembah Gle Taron, dan bersama Teuku Nanta mereka menguasai Lhong dan menyerang tempat-tempat pengawalan Belanda di Krueng Raba, Buket Seubun, dan Peukan Bada. Tetapi kemudian Habib dan pasukannya dapat dipukul mundur. Ia mengadakan hubungan dengan Teungku di Tiro yang menggempur Belanda di Sigli, dan kemudian Habib mengambil posisi di Montasie' untuk mempersiapkan penyerangan baru ke Mukim IV. Sampai awal tahun 1877 sudah 60 juta florin dikeluarkan Belanda untuk peperangan ini sehingga Belanda merasa perlu menempuh jalan lain dalam mengakhiri peperangan itu.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.W. van Lansberge menuju ke Aceh dalam bulan Maret 1877 untuk melihat dengan mata kepala sendiri keadaan di Aceh. Ia berpendapat bahwa sikap menunggu seperti yang diambil tiga tahun sebelumnya adalah sikap yang layak dilaksanakan, dan tidak lagi memperluas daerah kekuasaan di Aceh Besar. Untuk mengambil hati rakyat Aceh, Mesjid Raya yang hancur akibat peperangan hendak dibangun kembali oleh pihak Belanda. Perletakan batu pertama dilakukan oleh Teuku Kali Malikön Ade' pada tanggal 9 Oktober 1879 dengan disaksikan antara lain oleh Jenderal Van der Heijden dan diiringi tembakan meriam 13 kali. Pemerintah Hindia Belanda berpendapat bahwa daerah-daerah di luar daerah Aceh Besar yang bersikap bermusuhan dengan Belanda masih dapat ditaklukkannya. Dalam bulan April 1877 sudah ada beberapa daerah di pantai Aceh yang mengibarkan bendera Belanda, tetapi pihak Belanda sendiri mengakui bahwa kekuasaan dan pengaruh mereka hanya dalam nama saja. 

Aceh masih dapat lolos dalam mengeluarkan hasil-hasil bumi serta membawa masuk barang-barang yang mereka perlukan. Daerah-daerah pesisir di luar daerah Aceh Besar, seperti Samalanga dan Meureudu di pantai Utara, Meulaböh dan Lhöng dan lainlainnya di Aceh Barat, serta Langsa dan Manya' Paye't di Aceh Timur masih terus bersikap bermusuhan dan melawan Belanda. Untuk menghadapi daerah-daerah ini Belanda mengirim kekuatan militernya dalam bulan-bulan Agustus sampai dengan Oktober 1877. Dalam pertempuran di Batèe Ilie', Samalanga, bulan Agustus 1877 panglima tentara Belanda Kolonel Van der Heijden terkena peluru di mata kirinya. 

Ternyata hasil penyerbuan ini sangat tidak memuaskan pihak Belanda sehingga mereka terpaksa mengambil sikap menunggu selama satu tahun. Politik lunak Belanda dengan menghentikan agresinya di daerah Aceh Besar serta selesainya pembangunan kembali Mesjid Raya pada tanggal 27 Desember 1881 tidak menghasilkan apa-apa. Harapan Belanda akan datangnya saat pendekatan dari pihak pemimpin pejuang rakyat Aceh kepada pihak Belanda tidak juga menjadi kenyataan. Untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa kerajaan Aceh masih mempunyai satu pemerintahan, maka sesuai dengan hukum adat, dinobatkanlah Tuanku Muhamad Daud Syah sebagai sultan di mesjid Indrapuri pada tahun 1878, dan selama Sultan belum dewasa pemerintahan dijalankan oleh Tuanku Hasyim Bangtamuda sebagai Mangkubumi.

 Dengan adanya serangan-serangan gencar dari pihak Aceh, Gubernur Jenderal mencabut sikap menunggu itu dan memerintahkan penaklukan seluruh lembah Krueng Aceh. Van der Heijden, yang pada bulan Januari 1878 diangkat menjadi Gubernur Sipil dan Militer menggantikan Jenderal Diemont, dapat mendesak pasukan Aceh ke luar garis pertahanan Belanda dan berhasil menaklukkan daerah-daerah XXII dan XXVI Mukim di dalam Daerah Aceh Besar. Dengan adanya tekanan-tekanan dari pasukan pejuang Aceh, pada bulan Februari dan Maret 1878 Belanda terpaksa mengirimkan kekuatan militernya ke bahagian Selatan daerah Aceh Besar dan Aceh Barat. Karena adanya serangan yang terus-menerus dari Ulama Teungku di Tiro terhadap tempat-tempat pengawalan Belanda di daerah Gigieng, dalam bulan April dan Mei tahun itu juga Belanda mengirimkan pasukannya ke sana di bawah pimpinan Mayor W.A. Coblijn. 

Pasukan pejuang Aceh di sekitar Geudong, Aceh Utara, dan Idi, Aceh Timur, memberi tekanan kepada pasukan Belanda sehingga mereka terpaksa mengerahkan kekuatan militernya ke tempat-tempat itu yang dipimpin langsung oleh Van der Heijden. Sewaktu pasukan Vander Heijden berangkat ke Geudöng, kesempatan baik ini dipergunakan oleh Habib Abdurahman bersama 2000 orang pejuang yang datang dari XXII Mukim untuk menyerbu Mukim IV yang sudah diduduki Belanda. Bahkan pada tanggal 16 Juli 1878 pasukan itu, yang berada di bawah pimpinan Panglima Nya' Abu, sempat memasuki Mukim itu, tetapi dapat ditahan oleh Belanda. Peristiwa ini menyebabkan Belanda mengadakan agresinya kembali di daerah Aceh Besar. Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirimkan satuan-satuan yang diperlukan untuk memperkuat pasukannya di Aceh sehingga praktis setengah dari kekuatan tempur Belanda berada di Aceh. Pasukan yang telah dikirim ke Peusangan, Aceh Utara, ditarik kembali dan dipusatkan di daerah Aceh Besar. Van der Heijden terlebih dahulu membersihkan daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Habib Abdurahman, kemudian ia menuju ke Montasie' karena daerah ini telah diserang pula oleh pasukan Habib bersama pasukan Teuku Chi' di Tiro.[Bersambung Ke Bagian : Dalam Sejarah Kolonial Belanda. Pada Tahun 1880 Kutaraja Kelihatannya Sudah Aman. ]

Istilah/arti kata : sahnya shalat Jum'at itu. Imeum (bahasa Arab Imam) berarti
seseorang yang mengimami atau berdiri di depan jama'ah
shalat. Lambat laun gelar itu berobah menjadi gelar kepala
suatu daerah di dalam suatu kenegaraan dan karenanya untuk
mengimami jama'ah shalat ditunjuk seorang pejabat khusus.
Mukim terdiri dari sejumlah gampang (desa) dan setiap
desa dikepalai oleh seorang keuchi '(kepala desa). Ini
dibantu oleh seorang waki (wakil). Dalam setiap desa
ada sebuah meunasah, suatu bentuk bangunan "tempat
melakukan shalat secara bersama ". Meunasah (bahasa Arab
Madrasah) berfungsi juga sebagai tempat melaksanakan
kegiatan-kegiatan umum di dalam kampung. Setiap desa
memiliki sebuah meunasah yang dikepalai oleh seorang
teungku meunasah yang bertindak selaku pembina kehidupan
beragamaidi desa tersebut. Disamping meunasah biasanya
didirikan sebuah bale, sejenis bangunan kecil tak berdinding,
berbeda dari rumah atau meunasah yang berfungsi sebagai
wadah pembantu meunasah; juga merupakan akomodasi
bagi orang-orang asing yang datang ke suatu desa.
(**) Pada masa dahulu, tidak semua kepala rakyat dari suatu
kenegaraan di Aceh digelari uleebalang; juga dinamakan
"Raja", umpamanya raja Pidie, raja Teunom dan sebagainya.
Pada masa dahulu, uleebalang atau raja itu adalah pembantu
atau wakil Sultan di dalam sesuatu daerah kenegaraan otonom.
[][dok buku : perang kolonial belanda di aceh]



1 comment:

Powered by Blogger.