Ads Top

Terancam Oleh "Traktat Sumatera" Kerajaan Aceh Mencari Bantuan Dari Turki

dok: perang kolonial belanda di aceh
Timbulnya pergolakan melawan kolonialisme Belanda adalah salah satu gejala yang muncul di kepulauan Nusantara yang memuncak pada abad XIX. Pada tahun 1871 kerajaan-kerajaan Belanda dan Inggris menandatangani sebuah traktat yang dinamakan "Traktat Sumatera", yang antara lain menyatakan bahwa "Belanda bebas memperluas kekuasaannya di seluruh pulau Sumatera"
sehingga dengan demikian Belanda tidak berkewajiban lagi menghormati kedaulatan dan integritas Kerajaan Aceh yang tercantum dalam "Traktat London 1824". Kerajaan Aceh sudah jelas merasa terancam oleh "Traktat Sumatera" ini.

 Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, dalam keadaan demikian Kerajaan Aceh berusaha mencari bantuan dari negara-negara yang dianggap bersahabat, antara lain Turki. Dalam bulan September 1871 Belanda menempuh suatu garis kebijaksanaan baru, yakni politik tanpa agresi, tetapi dipersiapkan sedemikian rupa sehingga dapat tercapai kehendak pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi pihak-pihak yang perlu dilindungi serta bertujuan memperkokoh pengaruh Belanda yang menganggap Sumatera menjadi haknya. Selanjutnya dalam bulan Oktober 1872 pemerintah Hindia Belanda mengirim surat kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah, yang berisi "keinginan untuk mengirimkan sebuah komisi yang diketuai oleh Residen Riau guna menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak".

 Dalam bulan Desember 1872 Sultan Aceh menyampaikan surat jawaban kepada Residen Riau melalui sebuah perutusan yang terdiri dari Syahbandar Panglima Tibang Muhamad beserta empat orang hulubalang lainnya, yang meminta agar perutusan Belanda menunda kedatangannya beberapa bulan lagi karena Kerajaan Aceh sedang menanti hasil kunjungan utusannya menghadap Sultan Turki. Dalam perjalanan kembali dari Riau pada tanggal 25 Januari 1873 utusan Aceh dengan menumpang kapal "Marnix" singgah di Singapura serta mengadakan hubungan dengan konsulat Amerika dan Italia. Konsul Amerika sendiri bersama para utusan tersebut mempersiapkan sebuah konsep perjanjian kerja sama sederajat antara Amerika dan Aceh dalam menghadapi ancaman Belanda. Dalam pada itu Konsul Belanda di Singapura, Read mengawatkan pemerintah Hindia Belanda dan memberitahukan bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia membantu kedudukan Aceh. Akibatnya adalah keputusan pemerintah Belanda di Nederland pada tanggal 18 Februari 1873 yang memerintahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, agar mengirim angkatan laut ke Aceh, dan kalau, perlu disertai pasukan yang kuat. Adanya kekuatan lain yang hendak turut berperan seperti keadaan sebelum tahun 1824 di pulau Sumatera mengkhawatirkan pihak Belanda.

 Belanda segera mengambil tindakan karena khawatir tentang kelanjutan hasil perundingan di Singapura antara Aceh dengan Amerika Serikat yang dapat merugikannya. Dengan diperolehnya berita bahwa sebuah skuadron Amerika di bawah Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong ke Aceh pada tanggal 1 Maret 1873, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengangkat F.N. Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda serta memerintahkannya menuju Aceh untuk mengusahakan agar Sultan Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Andaikata pengakuan dimaksud telah diperoleh, diperkirakan bahwa kekuatan-kekuatan ketiga akan terhambat untuk melakukan intervensi.

---  Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret menuju Aceh dengan sebuah kapal perang ("Citadel van Antwerpen") dan sebuah kapal pemerintah sipil ("Siak"); sesampai di Pulau Pinang ia mendapat tambahan kekuatan lagi dua buah kapal perang milik Belanda ("Marnix" dan "Coehoorn"). Ia tiba di perairan Aceh pada tanggal 22 Maret dan kemudian menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah. Jawaban Sultan tidak memenuhi keinginan Belanda dan karena itu pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen memaklumkan perang kepada Kerajaan Aceh. Pada tanggal 5 April tahun itu juga Belanda telah siap di perairan Aceh dengan 6 buah kapal perang ("Djambi", "Citadel van Antwerpen", "Marnix", "Coehoorn", "Soerabaja", "Sumatra"),
 2 buah kapal angkatan laut pemerintah ("Siak" dan "Bronbeek"), 5 buah barkas, 8 buah kapal peronda, 1 buah kapal komando, 6 buah kapal pengangkut, serta 5 buah kapal layar, masingmasing ditarik oleh kapal pengangkut, yaitu 3 buah untuk pasukan artileri, kavaleri dan pekerja-pekerja, 1 buah untuk amunisi dan  perlengkapan, serta 1 buah untuk orang-orang sakit. Komandan armada ialah kapten laut J.F. Koopman. Angkatan darat dan laut itu yang seluruhnya terdiri dari 168 orang perwira (140 orang Eropah, 28 orang bumiputera), 3198 orang bawahan (1098 orang Eropah dan 2100 orang bumiputera), 31 ekor kuda untuk perwira, 149 ekor kuda pasukan, 1000 orang pekerja paksa dengan 50 orang mandor, 220 orang wanita bumiputera (8 orang setiap kompi) serta 300 orang laki-laki bumiputera sebagai pelayan perwira-perwira, dipimpin oleh mayor jenderal J.H.R. Köhler, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infanteri kolonel E.C.

van Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil kepala staf, ajudan-ajudannya, komandan-komandan batalion, Zeni, kesehatan dan topografi. Pada tanggal 6 April untuk pertama kali pasukan Belanda mendarat di Pante'Ceureumen, sebelah Timur Ulèe Lheue, untuk melakukan pengintaian; mereka dipukul mundur oleh pejuang-pejuang Aceh, dan barulah pada tanggal 8 April berikutnya seluruh induk pasukan Belanda didaratkan di bumi Aceh. Pada hari pendaratan pertama saja'kapal perang "Citadel van Antwerpen" memperoleh dua belas tembakan meriam Aceh. Baca halaman berikutnya Perang Melawan Belanda Oleh Rakyat Aceh Diberi Nama "Prang Beulanda" (Perang Belanda)[][dok: perang kolonial belanda di aceh]



No comments:

Powered by Blogger.