Perang Melawan Belanda Oleh Rakyat Aceh Diberi Nama "Prang Beulanda" (Perang Belanda)
persiapan belanda saat menghadapi pejuang aceh |
Perang kolonial yang terlama dalam sejarah Nusantara dimulai. Dalam buku ini disajikan kepada para pembaca jejak-jejak sejarah berupa nukilan peristiwa yang berkaitan dengan perang rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda di Aceh. Bangsa kita, karena teknologi pada masa itu, tidak membuat gambar-gambar mengenai perang ini,
akan tetapi untunglah kerajaan Belanda banyak membuat foto dokumentasi sehingga memungkinkan kita lebih menghayati betapa tingginya semangat juang generasi terdahulu mempertahankan setiap jengkal Tanah Air dari agresi penjajah. Andaikata dalam buku ini terdapat banyak gambar tokoh-tokoh militer Belanda, hal ini bukanlah dimaksudkan untuk mengagungkan peranan mereka, akan tetapi semata-mata untuk memperlihatkan betapa pihak Belanda harus mengerahkan sekian banyak perwira serta pasukan Angkatan Perangnya untuk menghadapi perlawanan gigih dari pihak rakyat Aceh yang memakan waktu puluhan tahun.akan tetapi untunglah kerajaan Belanda banyak membuat foto dokumentasi sehingga memungkinkan kita lebih menghayati betapa tingginya semangat juang generasi terdahulu mempertahankan setiap jengkal Tanah Air dari agresi penjajah.
Andaikata dalam buku ini terdapat banyak gambar tokoh-tokoh militer Belanda, hal ini bukanlah dimaksudkan untuk mengagungkan peranan mereka, akan tetapi semata-mata untuk memperlihatkan betapa pihak Belanda harus mengerahkan sekian banyak perwira serta pasukan Angkatan Perangnya untuk menghadapi perlawanan gigih dari pihak rakyat Aceh yang memakan waktu puluhan tahun.
Perang melawan Belanda oleh Rakyat Aceh diberi nama Prang Beulanda (perang Belanda), Prang Gómpeuni (perang kompeni), Prang Sabi (perang Sabil) dan Prang Kaphé(Perang Kafir), dan siapa yang gugur karena memerangi kafir (maksudnya orang Belanda karena tidak seagama dengan orang Aceh pada masa peperanganitu) dianggap mati syahid sebagaimana tercermin dalam Hikayat Perang Sabil. J.S. Furnival 1 (1944-1976) menganggap Perang Aceh ini berakhir pada tahun 1904, sedangkan J. Jongejans (1939) menganggapnya berakhir antara 1910 dan 1913. J.Kreemer (1922) membuat periodisasi Perang Aceh dengan membaginya dalam tujuh masa, yaitu: (1 ) ekspedisi pertama di bawah Jenderal JHR Köhler (5-29 April 1873), (2) ekspedisi kedua di bawah Jenderal J. van Swieten sampai dengan pendudukan Dalam (kraton) Sult'an Aceh (9 Desember 1873-24 Januari 1874), (3) masa konsolidasi pendudukan Aceh ( April 1874-Juni 1878), (4) saat aksi kekerasan dan penaklukan seluruh Aceh Besar (Juni 1878-September 1879), (5) masa pemerintahan sipil (1881-1884), (6) kemunduran yang terus-menerus (1884-1896 ), dan (7) saat aksi kekerasan dan berakhirnya Perang Aceh (1896-1910). Pada tahun 1912 syahid seorang ulama besar bernama Teungku di Barat yang muncul secara menonjol dalam arena perang sejak tahun 1903 sebagai pemimpin gerilya.
Beberapa orang perwira Belanda telah berikhtiar, tetapi tidak pernah berhasil menangkap atau membunuhnya. Tapi atas usaha tim letnan Marsose Behrens tempat ulama ini dapat dikepung dan dalam kontak senjata yang terjadi lengan ia terkena peluru Belanda. Segera ia menyerahkan karabennya kepada istrinya dan mencabut rencong dengan tangan kirinya sementara istrinya segera pula melindungi sang suami dengan berdiri di hadapannya. Akhirnya peluru Gompeuni menembus jasad keduanya dan gugurlah mereka sebagai syuhada.
"Beginilah" tulis Zentgraaff, berakhirnya hidup Teungku di Barat dan ulama-ulama terkemuka lainnya di daerah ini yang lebih suka memilih syahid dari "surat" atau melapur ke Belanda. "(*) Selanjutnya Zentgraaff mengunci tulisannya itu dengan mengajukan pertanyaan:" Dan apakah suatu bangsa di dunia ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya tokoh-tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku-buku sejarah? "(*) Setelah tahun 1912 pertempuran masih terus berlangsung di sana-sini, kendatipun intensitasnya semakin berkurang. Akan tetapi pada tahun 1925-1927 terjadi pertempuran besar di Bakö- ngan, Aceh Barat, pada tahun 1935 di Lhong,pada tahun 1937 di Leupueng, Aceh Besar, bahkan pada tahun 1942, menjelang pendaratan Jepang di Aceh, di Seulimeum, juga di dalam daerah Aceh Besar.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Paul van 't Veer menulis di dalam bukunya De Atjehoorlog (p.293) bahwa: "Peperangan Belanda di Aceh harus dianggap sebagai sebuah peperangan besar dan dahsyat yang berlangsung terus-menerus sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh untuk selama-lamanya dalam tahun 1942". "Dan setelah tahun 1945 Belanda tidak pernah lagi berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh, sehingga Aceh adalah daerah yang terakhir ditaklukkan dan yang pertama pula bebas dari penjajahan Belanda", (p.l) Sesaat setelah tentara Belanda mendarat pada tanggal 6 April 1873 dengan serta-merta mereka digempur oleh pasukan Kerajaan Aceh. Setelah beberapa hari bertempur barulah Belanda dapat merebut Mesjid Raya di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) 10-4-1873, akan tetapi karena tekanan pasukan-pasukan Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Imeum Lueng Bata, mereka kemudian terpaksa meninggalkan nya juga. Pada tanggal 14 April 1873 Belanda berusaha lagi merebut Mesjid Raya, dan dalam pertempuran ini panglima pasukannya J.H.R. Köhler tewas kena peluru pejuang Aceh. Tujuan Belanda menguasai Dalam atau Kraton Sultan Aceh dapat digagalkan. Mereka dipukul mundur dengan menderita kekalahan hebat, yakni 45 orang tewas (termasuk 8 orang perwiranya) dan 405 orang luka-luka (di antaranya 23 orang perwira).
Tiga hari setelah Jenderal Köhler gugur, Belanda mengundurkan diri ke pantai, dan setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April, mereka lalu membongkar sauh meninggalkan pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873. Penyerbuan Belanda yang pertama seluruhnya gagal. Dalam pada itu pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan lagi angkatan perangnya untuk melakukan penyerangan kedua, dan selama persiapan ini Angkatan Lautnya memblokade perairan pantai Aceh untuk menghalangi Kerajaan Aceh berhubungan dengan dunia luar. Pihak Aceh pun tidak tinggal diam menghadapi keadaan ini. Di Penang terbentuk sebuah "Dewan delapan", yang terdiri dari 4 orang bangsawan Aceh, 2 orang Arab, dan 2 orang Keling kelahiran Penang, untuk mewakili kepentingan Aceh di luar negeri, mengusahakan dan mengangkut perbekalan perang dengan menembus blokade Belanda serta berusaha menghubungi tempat-tempat lain di Nusantara agar timbul juga perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bulan November tahun itu juga Belanda sekali lagi memberangkatkan dari pulau Jawa angkatan perangnya yang terdiri dari 18 buah kapal perang uap, 7 buah kapal uap angkatan laut, 12 buah barkas, 2 buah kapal peronda yang dipersenjatai, 22 buah kapal pengangkut dengan alat-alat pendaratan yang terdiri dari 6 buah barkas uap, 2 buah rakit besi, 2 buah rakit kayu, kira-kira 80 buah sekoci, beberapa buah sekoci angkatan laut, dan sejumlah besar tongkang serta dipimpin oleh Letnan Jenderal J. van Swieten, pensiunan Panglima pasukan Hindia Belanda yang terpaksa diaktifkan kembali dan didatangkan dari negeri Belanda pada tanggal 9 Juni 1873. Ia dibantu oleh Mayor Jenderal G.M. Verspijck. Agresi kedua ini dimulai pada tanggal 9 Desember 1873 dengan didaratkannya pasukan Belanda di kampung Leu'u, dekat kuala Gigieng, Aceh Besar.
Lihat halaman bagian pertama : Terancam Oleh "Traktat Sumatera" Kerajaan Aceh Mencari Bantuan Dari Turki
Dalam menghadapi penyerbuan ini pasukan Aceh dipimpin oleh Tuanku Hasyim Bangtamuda, salah seorang anggota keluarga Sultan yang ketika berlangsung agresi Belanda pertama masih berada di daerah Sumatera Timur. Beliau dibantu oleh Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia. Delapan hari lamanya mereka mempertahankan pantai, kemudian terpaksa mengundurkan diri dan mengatur pertahanan Mesjid Raya, memperkokoh kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lam Bhu' serta menyusun pertahanan Dalam. Mesjid Raya dipertahankan secara matimatian. Namun pada tanggal 6 Januari 1874 Mesjid Raya direbut juga oleh Belanda. Sementara itu terdapat 3000 orang anggota pasukan pejuang Aceh, berasal dari Sagi XXII Mukim (*) yang masih mempertahankan garis pertahanan yang dipersiapkan oleh Panglima Polem dengan mengambil kedudukan di Lam Bhu'. Dalam sendiri dikawal oleh kira-kira 900 orang pasukan pejuang Aceh. [Bersambung kebagian : Belanda Menghentikan Agresinya Untuk Sementara Dengan Harapan Agar Dapat Dipaksakan Sebuah Persetujuan Perdamaian Dengan Sultan Aceh
Istilah :(*) Sagi (bahasa Aceh Sagoe) adalah daerah federasi yang
terdapat hanya di daerah Aceh Besar. Setiap sagoe terdiri dari
sejumlah mukim. Daerah Aceh Besar terdiri dari 3 buah Sagi,
yaitu Sagi XXVI Mukim, Sagi XXV Mukim dan Sagi XXII
Mukim, masing-masing dikepalai oleh seorang Panglima.
Mukim adalah nama daerah di dalam suatu nanggroe
(kenegerian). Daerah uleebalang terbagi dalam sejumlah
mukim dan setiap mukim dikepalai oleh seorang imeum
(imam). Pada mulanya mukim itu merupakan "kelompok
Jum'at", yaitu daerah yang dicakup oleh sebuah mesjid
tempat melakukan shalat Jum'at. Kata mukim berasal dari
bahasa Arab muqim yang berarti "penduduk yang menetap
pada suatu tempat" yang berjumlah sekurang-kurangnya 40
orang untuk menentukan, menurut pengertian setengah ulama,
[tvaceh.com][dok buku : perang kolonial belanda di aceh]
No comments: